" Perempuan dan Paham Budaya Patriarki "
Oleh : Zukhruful Irbah
Selama ini, paham budaya patriarki sangat
mempengaruhi pola pikir masyarakat. Alih-alih menganggap kedudukan laki-laki
lebih tinggi dan sebagai pengayom bagi kaum perempuan, justru secara tidak
langsung hal itu membatasi ruang gerak bagi perempuan dalam menyuarakan haknya.
Asumsi tersebut sangat merugikan perempuan, stigma masyarakat menanamkan pola
pikir yang membawa kemunduran terhadap peradaban perempuan. Paham patriaki
dalam peradaban dunia di bangun dengan menempatkan perempuan sebagai objek
seksual bagi laki-laki. Pada akhirnya kaum perempuan kerap kali mengalami
tindakan pelecehan seksual. Bukan hanya itu, dampak kekerasan seksual berimbas
pada kondisi psikis perempuan dan akan menjadi momok yang menakutkan dalam
hidupnya. Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan
Anak (SIMFONI PPA) tercatat sepanjang Januari hingga Februari 2022 terdapat
1.411 kasus kekerasan terhadap perempuan. Betapa mirisnya keadaan ini jika
setiap perempuan yang terlahir di dunia di suapi oleh paham budaya patriarki.
Paham Budaya Patriarki masih sangat
kental di rasakan di negara-negara dunia terutama Indonesia. Baik masyarakat
yang hidup di perkotaan atau pedesaan, rupanya paham ini telah turun temurun di
wariskan dari orangtua terdahulu. Sudah menjadi sebuah tugas setiap perempuan
mengurus rumah tangga, mengandung dan melahirkan sedangkan laki-laki bekerja di
luar rumah. Hal ini akhirnya di pandang sebagai adat istiadat di manapun
keberadaan perempuan. Tak asing lagi bahwa masyarakat memandang perempuan
sebagai kaum marjinal dan lemah. Hak untuk membela diri yang seharusnya di
miliki oleh perempuan cenderung pasif dan terikat, tidak sebebas kaum
laki-laki. Sehingga seringnya laki-laki merasa berkuasa dan memegang kendali
terhadap perempuan. Oleh karena itu, untuk mewujudkan SDG’s 2030 yang merupakan
rencana global guna mengurangi kesenjangan sosial maka paham budaya patriarki
ini harus di hapuskan agar tercipta peradaban perempuan yang maju dan mandiri.
Walaupun gerakan feminis telah kuat di
gaungkan, faktanya banyak masyarakat yang masih menggenggam budaya patriarki.
Kekerasan dan pelecehan seksual merupakan bukti nyata bahwa antara laki-laki
dan perempuan memiliki hubungan yang masih timpang. Ketimpangan itu menimbulkan
ketidakadilan sosial antara laki-laki dan perempuan pada sisi perbedaan
biologis. Sebagai suatu contoh dalam kasus kekerasan seksual yang di alami oleh
salah satu mahasiswi. Ia menjadi korban pemerkosaan oleh pacarnya hingga hamil.
Namun malangnya, pelaku menolak untuk bertanggung jawab dan menyuruh korban
menggugurkan kandungannya. Padahal korban telah melaporkan peristiwa tersebut
kepada orang tua pelaku. Akan tetapi orangtua pelaku tidak meminta anaknya
bertanggung jawab atas perbuatannya, justru meminta korban untuk menutupi aib
sang pelaku. Akhirnya korban menggugurkan janin yang ada dalam kandungannya.
Tidak berhenti sampai di situ, korban mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan
dari keluarga pelaku dan korban juga mendapatkan tekanan dari seluruh
keluarganya sendiri. Diduga mengalami depresi akhirnya korban mengakhiri
hidupnya dengan bunuh diri menegak racun di samping makam ayahnya. Korban
mengalami pemerkosaan tidak hanya sekali, di tahun 2016 dan 2017 korban
mengalami hal serupa, namun lagi-lagi sang pelaku meminta korban untuk
menggugurkan kandungannya.
Seolah-olah menikah adalah cara
menghindari perzinahan. Hal ini menjadikan pola pikir laki-laki bahwa untuk
memuaskan hawa nafsunya, harus dengan menikah. Maka tak jarang bahwa laki-laki
berpikir untuk menikah dengan banyak wanita. Karena satu-satunya cara ialah
dengan menikah. Menganggap bahwa istri sahnya hanya sebagai “alat” untuk
menyalurkan nafsunya. Setelahnya melakukan kekasaran dan kekerasan kepada
wanita. Hal ini dianggap legal oleh laki-laki atau suaminya sebab konsekuensi
menikah yaitu terjadinya konflik. Padahal tubuh seorang wanita merupakan hak
miliknya sendiri, bukan hak milik suaminya.
Kemudian perempuan harus patuh dan tunduk
pada suami. Tidak boleh melawan, tidak boleh bersuara, tidak boleh membantah,
harus diam dan menerima, sebab tugasnya istri hanya untuk melayani suami. Suami
bertugas di luar rumah, untuk mencari nafkah. Urusan rumah tangga di serahkan
kepada istri. Suami tidak ingin sekalipun membantu istrinya untuk keperluan
rumah tangga, alibinya karena telah lelah bekerja. Hal ini merupakan patriaki.
Sebab kekuasaan suami ada pada bidang ekonomi, inilah persepsi keliru.
Saat istri menjadi korban dari kekerasan
rumah tangga. Para tetangga di larang untuk ikut campur. Tidak boleh membantu
dan menolong, sebab suaminya akan marah dan lalu berteriak, “Ini urusan
keluarga saya, bukan urusan kalian!”. Hal ini tentu harus dicegah dengan meleraikan
pertikaian tersebut. Kalau perlu dapat dilaporkan ke polisi atas kasus
kekerasan dalam rumah tangga. Kita harus ikut campur untuk menertibkan hal-hal
yang perlu ditertibkan, untuk kerukunan dan mendapatkan lingkungan yang nyaman.
Kalau dalam perguruan tinggi pun budaya
patriaki dapat terjadi. Seperti perempuan yang dilarang untuk berpendapat.
Suara perempuan tidak di dengarkan dan dihargai. Suara perempuan itu dianggap
sebagai aib ataupun aurat, yang seharusnya disembunyikan. Peran perempuan dalam
organisasi dibatasi. Pemikiran perempuan dianggap sebelah mata. Perempuan
diremehkan karena dianggap lebih mendahulukan perasaan dibandingkan laki-laki.
Sehingga laki-laki dianggap pula lebih superior dalam hal logika, sementara
perempuan akan terintimidasi dan merasa inferior akibat persepsi salah
tersebut.
Peran Generasi Z
Generasi Z merupakan generasi yang mampu
sigap beradaptasi dengan teknologi dan memiliki kemampuan menggunakan internet
dengan baik. Generasi ini lebih toleran terhadap perbedaan budaya. Menurut BPS
pada tahun 2020 ada 74,93 juta gen Z di Indonesia atau sekitar 27,94% dari
total penduduk Indonesia. Hal ini membuat negara ini masuk dalam bonus
demografi. Media sosial menjadi hal yang tidak bisa dilepaskan dari generasi
ini.
Generasi Z dapat melakukan perubahan
mulai dari hal kecil, yakni menggunakan media sosial dengan bijak. Mengomentari
hal-hal yang dirasa perlu dengan positif. Bahkan menyuarakan untuk
menghilangkan budaya patriaki, yang bisa terjadi tanpa disadari. Sebab menganggap
bahwa derajat perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Tidak menyalahkan
korban pelecehan seksual, karena korban yang telah trauma akan semakin parah
traumanya akibat di rundung di media sosial. Dan bahkan ada yang
terang-terangan membela pelaku dengan dalih bahwa korban patut disalahkan,
padahal korban tetaplah korban.
Tentunya banyak sekali pelecehan yang
terjadi di negeri ini tetapi tidak terungkapkan ke publik. Hal ini merupakan
kesempatan untuk generasi Z dalam mencegah pelecehan dan budaya patriaki yang
seakan-akan tidak dapat dibendung. Oleh karena itu, generasi Z perlu untuk
bersama-sama saling berkomunikasi, berbagi informasi dan belajar bagaimana
menyikapi korban dari budaya patriaki, serta belajar mengenai urgensi dari
menghapus budaya patriaki, tentu ini demi peradaban masyarakat yang damai dan
setara secara sosial.
Kekuasaan laki-laki seolah-olah lebih
besar daripada perempuan. Ada slogan yang mengatakan bahwa dibalik laki-laki
yang hebat, ada wanita yang hebat. Ini merupakan salah satu stigma patriaki.
Bukankah seharusnya sejajar antara laki-laki dan perempuan? Laki-laki tidak
bisa merasa lebih hebat dan lebih berkuasa, sebab perempuan dan laki-laki
setara. Laki-laki yang memahami bahwa perempuan adalah makhluk yang sama
dengannya, maka ia tidak sanggup untuk melakukan sikap diksriminatif.
0 Komentar