Bulan Ramadhan akhirnya telah tiba, berbondong-bondong kaum Muslimin dan Muslimat mempersiapkan diri untuk menyambut kedatangan bulan yang mulia ini, Tuhan menyediakan momentum bulan puasa ini sebagai sarana bagi umat untuk membersihkan diri dan menancapkan orientasi nilai dalam hati, kemudian melakukan esensi dari nilai itu dalam kehidupan sehari-hari. Namun luputkah kita dari pemahaman bahwa puasa utamanya bukanlah soal ketaatan dogmatis namun ia adalah soal laku spiritual yang berkelindan erat bahkan dengan laku sosial-politik keseharian kita. 

Puasa yang dogmatis

Laku puasa tidak seharusnya dikerangkai dalam satu kerangka dogmatis sebagai sesuatu yang bersifat transaksional, transaksional dalam artian ia (puasa) wajib dilakukan atau dalam bahasa Islam disebut fardhu’ain agar kita tidak disiksa Tuhan kelak di hari pembalasan misalnya dan ia juga tidak semestinya dikerangkai dalam satu kewajiban sosial-politik tertentu (yang mewujud dalam bentuk tekanan sosial-politik).

Puasa yang dilakukan semata untuk menghindari murka Tuhan dan puasa yang dilakukan semata agar terhindar dari tekanan sosial-politik masyarakat adalah puasa yang tidak bernilai secara spiritual, dia hanyalah puasa dogmatis yang minim penghayatan dan bahkan potensial tiada keikhlasan di dalamnya, ingatlah bahwa Tuhan yang sebenarnya adalah Tuhan yang menilai apa yang ada di balik tirai, bukan menilai tirai itu sendiri, Ia tidak melihat puasamu, namun Ia melihat nilai dari puasamu.

Puasa yang dilakukan untuk menghindari murka Tuhan sebenarnya adalah upaya pensubjekan Tuhan itu sendiri, kita hakikatnya baru saja menganggap bahwa subjek Tuhan yang transenden itu adalah subjek yang akan marah jika kita tidak melakukan puasa dogmatis tersebut dan untuk mencegah kemarahan subjek ini (Tuhan), kita harus bertransaksi dengannya dengan melakukan puasa, kira-kira seperti itu analisisnya. Lalu pertanyaannya, apakah Tuhan yang sejati akan membiarkan diriNya terjebak dalam transaksionalisme semacam itu dengan manusia yang serba daif ini?

Berpuasa karena tekanan sosial-politik masyarakat juga tidak kalah dogmatisnya dengan puasa yang bersifat transaksional-subjektif tadi, orang yang berpuasa untuk menghindari tekanan sosial-politik ia hakikatnya baru saja “menciptakan” Tuhan yang salah dan mengasingkan dirinya.

Mengapa “menciptakan” Tuhan yang salah? Karena mereka tanpa kesengajaan baru saja menciptakan dalam pikiran mereka satu kreasi bahwa masyarakat yang menekan tersebut adalah Tuhannya, Tuhannya bukanlah nilai perennial, Tuhannya bukanlah Yang Maha Kuasa itu, namun Tuhannya adalah adalah masyarakat itu sendiri, yang kemahakuasaannya itu termanifestasi dalam tekanan sosial-politik yang mampu membuatnya melaksanakan puasa tersebut.

 

Bagi orang-orang ini, puasa bukanlah soal laku menahan yang bersifat spiritual, namun utamanya adalah soal laku kepatuhan sosial-politik yang bersifat imperatif-hipotetis, mereka juga hakikatnya baru saja mengasingkan dirinya, karena dalam laku puasa terdapat banyak faidah spiritual yang terkandung, namun karena puasa yang dilakukan dimaknai sebagai sesuatu yang dogmatis, maka faidah spiritual tersebut tidak dirasakannya.

 

Puasa “sirkumsisi” hak sipil?

Apakah benar bahwa laku puasa akan semacam menyunat hak sipil untuk ber-ekonomi dalam sektor kuliner? Serta juga laku puasa ia akan menyunat hak sipil misalnya untuk makan di siang hari bagi mereka yang tidak menjalankan puasa tersebut?

Dalam puasa yang dogmatis, tentu saja ada upaya penyunatan hak sipil dalam konteks tersebut, penganut puasa jenis dogmatis ini akan terganggu dengan bukanya warung makan di siang hari dengan alasan tidak menghormati mereka yang sedang berpuasa, Tuhan yang mereka sembah rupanya adalah Tuhan yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah sekali, sebab Ia akan marah semata karena berjalannya ekonomi sektor kuliner di siang hari. Kira-kira seperti itu jalan pikiran sederhana nya.

Anggapan bahwa Tuhan akan atau telah marah tersebut kemudian mewujud dalam upaya sosio-politik berupa penutupan paksa warung makan atau restoran yang beroperasi di siang hari, luputkah mereka dalam memahami bahwa tidak semua orang di Indonesia ini memiliki keyakinan yang sama dengan mereka? Matikah empati mereka untuk membuka kemungkinan pandangan bahwa mungkin saja mereka yang membuka rumah makan di siang hari adalah upaya untuk mencari penghidupan mereka, agar diri mereka beserta keluarga mereka dapat bertahan hidup?

 

Spiritualisasi puasa Ramadhan

Sungguh puasa Ramadhan yang dipandang dengan sudut pandang dogmatis tidak akan membawa banyak faidah bagi kondisi spiritual serta kondisi sosial-politik kita, malah berpotensi hanya akan menimbulkan kemunduran spiritual serta mudarat sosial-politik yang tidak diperlukan.

Puasa dogmatis dalam bentuk transaksionalisme teologis dengan Tuhan serta dalam bentuk penuhanan tekanan masyarakat membuat kita melaksanakan puasa dengan kesadaran yang tida murni, ia ditopang dengan kesadaran yang bersifat imperatif-hipotetis (lakukan A agar selamat dari B), puasa dogmatis juga akan mendorong pelakunya secara psiko-sosiologis untuk bersikap kurang memandang masyarakat pada dirinya sebagai satu struktur dengan elemen yang beragam, mereka menutupi diri dari fakta bahwa tidak semua masyarakat di Indonesia ini menganut keyakinan yang sama dengan mereka dan serta juga mereka menutup diri dari kemungkinan bahwa mungkin saja ada kehidupan yang perlu dipertahankan dalam beroperasinya rumah makan di siang hari tersebut.

Mereka yang berpuasa spiritual adalah mereka yang memanfaatkan momentum bulan Ramadhan untuk berfokus berbenah hati dan bebersih perilaku, mereka berupaya untuk mengembalikan diri dan intensi mereka pada jalan yang benar, yakni jalan yang paralel dengan kebaikan universal dan cinta abadi.

Mereka yang berpuasa spiritual adalah mereka yang berfokus pada peningkatan kualitas internal diri dan serta juga kualitas eksternal masyarakat seraya memandang bahwa di negara ini mereka bukanlah elemen pusat yang seolah mesti dihargai sedemikian rupa sehingga sector ekonomi kuliner harus berhenti beroperasi di siang hari, sebab mereka yang berpuasa spiritual bukanlah makhluk berkulit tipis yang akan sobek kulitnya oleh bukanya rumah makan di siang hari. Mereka yang berpuasa spiritual ini, ia menahan kebinatangan pada dirinya untuk mencapai rasa transenden dengan Tuhan sekaligus merangkul keberagaman sosial yang ada, dan merekalah orang-orang yang (semoga) beruntung, sebab mereka melakukan puasa dengan kesadaran yang murni, tidak terjebak pada transaksionalisme-subjektifikatif dengan Tuhan, apalagi menuhankan masyarakat itu sendiri.