Di pagi yang
cerah, saat matahari mulai menyinari kota Madinah, terekam sebuah episode
bersejarah. Tentang Fatimah yang bertanya kepada ayahandanya yaitu Rasulullah SAW.
“Ya Rasulullah, siapakah wanita
pertama yang masuk surga selain Ummul Mu’minin?”
Rasulullah menjawab, “Wahai Fatimah, jika engkau ingin mengetahui
siapa wanita pertama yang masuk surga selain Ummul Mu’minin, ia bernama
Muthi’ah”
“Siapakah Muthi’ah itu Ya Rasulullah ?” tanya Fatimah. “Rasanya
nama itu asing bagiku. Karna aku bukan hanya ingin tahu, tapi juga ingin
bertemu dengannya. Dimanakah ia berada Ya Rasulullah ?”
Setelah Rasulullah menyebutkan bahwa wanita yang dimaksud adalah
wanita yang miskin, tinggal di Jabal Uhud, maka ia langsung meminta izin kepada
suaminya untuk menemui wanita tersebut, dan keesokan harinya Fatimah segera
pergi menuju rumah Muthi’ah.
Dalam hati Fatimah timbul pertanyaan, apakah gerangan yang
menyebabkan Muthi’ah kelak menjadi wanita penghuni surga pertama? Bagaimanakah
ketakwaannya kepada Allah? Bagaimanakah ibadah dan pekerjaannya sehari-hari?
Dan bagaimana pula ketaatannya pada suamimya?.
Setelah Fatimah
sampai di rumah wanita itu, ia pun mengetuk pintunya. Kemudian wanita itu
keluar sambil bertanya maksud kedatangan Fatimah tanpa mempersilahkan masuk ke
dalam rumahnya.
Fatimah berkata, “Aku datang kesini karna ingin berjumpa dan
berkenalan dengamu”
Wanita itu menjawab, “Alangkah senangnya bisa berjumpa denganmu,
tetapi aku tidak bisa menerimamu masuk ke rumah ini karna suamiku sedang tidak
ada di rumah. Bila suamiku pulang, aku akan meminta izin kepadanya. Silahkan
datang lagi pada esok hari”
Dengan perasaan sedih dan hampa karna tidak diperkenankan masuk ke
rumah wanita itu dan tidak sempat berbicara panjang lebar, akhirnya Fatimah pun
kembali pulang ke rumahnya.
Keesokan harinya,
Fatimah datang lagi dengan membawa anaknya yang bernama Hasan yang sengaja ia
ajak untuk teman di perjalanannya. Setelah sampai di rumah wanita itu, ia
dibukakan pintu dan dipersilahkan masuk. Ketika Fatimah ingin masuk ke rumah
itu, tiba-tiba wanita tersebut melihat seorang laki-laki bersama Fatimah,
lalu ia bertanya, “Siapa ini ?”.
“Ini anakku, Hasan” sahut Fatimah.
Kemudian wanita itu berkata, “Aku sangat sedih wahai saudariku.
Karna aku belum mendapat izin dari suamiku untuk menerima tamu seorang
laki-laki”.
Walaupun waktu itu Hasan masih kecil, tetapi untuk menerima tamu
laki-laki, Muthi’ah harus meminta izin suaminya dulu. Fatimah menjadi bingung.
Seandainya ia pulang, ia harus menempuh perjalanan yang jauh, jika anaknya
ditinggal di luar, khawatir akan menangis dan bila dibawa masuk ke rumah pun
belum mendapatkan izin. Akhirnya Fatimah memutuskan untuk kembali pulang.
Keesokan harinya,
Fatimah datang lagi dengan membawa kedua anaknya yaitu Hasan dan Husain.
Setibanya mereka di pekarangan rumah Muthi’ah mereka mendapat sambutan yang
hangat dari tuan rumah. Ketika ingin mempersilahkan masuk ke dalam rumah,
Muthi’ah terkejut melihat laki-laki lain yang belum dimintakan izin suaminya.
Wanita itu pun berkata, “Wahai Fatimah, aku berduka cita atas
kejadian ini karna anak laki-laki yang satu ini belum aku mintakan izin pada
suamiku, maafkan aku wahai Fatimah”
Mendengarkan kata-kata itu, Fatimah tersipu dan menjawab, “Baiklah,
besok aku akan datang lagi kesini”.
Dalam perjalanan pulang ke rumah, Fatimah bergumam dalam hatinya, “Wanita
ini sangat takut kepada suaminya, sehingga hal yang seperti ini pun ia tidak
berani melakukannya, padahal jika ia persilahkan aku masuk ke dalam rumahnya,
suaminya takkan marah. Tidak perlu melihat aku ini siapa dan dua anak kecil ini
cucunya siapa, tetapi lihatlah kepada haknya seorang yang bertamu, apalagi tamu
itu datang dari tempat yang jaug, tetapi... sudahlah”, bisik hatinya sambil
menangis terisak-isak.
Setelah Fatimah
meninggalkan rumah itu, tak lama kemudian sang suami pulang. Wanita itu pun
memberitahukan tentang anak laki-laki yang satu lagi. Sang suami terkejut dan
heran seraya berkata,
“Kenapa kamu sampai berbuat seperti itu? Bukankah Fatimah adalah
putri Rasulullah SAW dan dua orang anaknya adalah cucu Rasulullah SAW? Tahukah
kamu wahai istriku, bahwa keselamayan kita berdua kelak akan bergantung pada
keridhoan Rasulullah SAW. Janganlah kamu berbuat seperti itu lagi. Jika mereka
datang lagi kesini, dengan membawa apapun dan siapapun, terimalah mereka dengan
baik dan hormatilah mereka sebagaimana kamu memuliakan Rasulullah SAW karna
mereka adalah keluarga Rasul”
Sang istri menjawab, “Baiklah, tetapi maafkanlah kesalahanku atas
peristiwa itu. Aku berbuat demikian karna aku menyadari bahwa keselamatanku ini
bergantung pada keridhoanmu. Oleh karna itu, aku tidak berani berbuat sesuatu
yang akan menyebabkanmu marah ataupun sakit hati”
“Tidak apa-apa wahai istriku, aku sangat beruntung mempunyai istri
seperti dirimu” sahut sang suami, “Tetapi janganlah kamu menerima seorang tamu
perempuan melainkan dengan sepengetahuanku, karna menghormati tamu perempuan
itu wajib dalam adat dan agama”. Lanjut sang suami.
Pada hari
berikutnya, Fatimah datang dengan membawa kedua putranya. Setelah sampai di
rumah wanita itu, mereka mendapatkan sambutan yang sangat baik dan
dipersilahkan masuk ke dalam rumah. Mereka juga di jamu dengan sedikit buah
kurma dan air, kemudian merekapun memulai pembicaraan.
Disaat asyik
bercerita, wanita itu meminta izin kepada Fatimah untuk keluar rumah. Dia
berjalan ke arah depan pintu rumahnya sambil memandang ke arah jalan
seolah-olah sedang menantikan kedatangan seseorang. Fatimah melihat ditangannya
ada sebatang tongkat dan sebuah wadah berisi air. Tangan yang satu lagi
mengangkat ujung kainnya sehingga terlihatlah betis dan sedikit pahanya,
wajahnya pun menampakkan senyuman yang manis dan mempesona.
Melihat hal itu,
Fatimah merasa resah karna ia sama sekali tidak dipedulikan. Lantas Fatimah pun
bertanya ;
“Kenapa jadi begini?”
“Maafkan aku Fatimah, karna aku sedang menanti suamiku yang akan
pulang”. Sahut perempuan itu.
“Buat apa wadah yang berisikan air itu”. Tanya Fatimah
“Kiranya suamiku dahaga ketika sampai di rumah, aku akan segera
mengulurkan air ini kepadanya supaya tidak terlambat”. Jawabnya.
Kemudian Fatimah bertanya lagi, “Kalau tongkat yang kamu pegang itu
untuk apa?”
“Jika suamiku marah, ia akan dengan mudah memukuliku dengan tongkat
ini”, jawab wanita itu.
“Lalu kenapa kamu mengangkat kainmu sehingga aurat mu terbuka?”
Fatimah bertanya lagi.
Maka wanita itu menjawab, “Jika dia menginginkanku, lalu dia
memandangku seperti ini tentulah akan membangkitkan syahwat dan nafsunya”.
Setelah mendengar
jawaban-jawaban dari wanita itu, Fatimah termenung dengan terharu, lalu ia
berkata pada dirinya sendiri “Jika seperti ini perbuatan dan perangainya
terhadap suami, aku tidak mampu mengikutinya. Patutlah ia masuk surga lebih
dulu daripada aku. Ternyata benar bahwa keselamatan seorang istri itu
tergantung pada ketaatan dan keridhoan suaminya”. Sambil tersedu-sedu
menangis, Fatimah pun meminta izin untuk pulang ke rumah dan segera menemui
ayahanda nya, Rasulullah SAW.
Setelah bertemu dengan baginda, ia pun berkata, “Ananda tak kuasa
menahan kesedihan yang sangat dalam ini, karna Ananda tidak dapat meniru dan
melakukan sebagaimana perangai dan perbuatan wanita yang ayahanda ceritakan
itu”
Mendengar rintihan putri tercintanya itu, Rasul pun tersenyum dan
bersabda :
“Wahai Fatimah, janganlah engkau bersedih. Perempuan yang engkau
jumpai itu adalah perempuan yang akan memimpin dan memegang tali ras kendali
tungganganmu tatkala masuk ke surga nanti. Jadi ialah yang masuk lebih dahulu”
Setelah mendengar penjelasan itu, barulah Fatimah tersenyum dan
bergembira lagi.
Iya, dialah wanita
shalihah yang sangat antusias meraih cinta suaminya. Dia tidak pernah
memperlihatkan penampilan yang membuat nuansa kehidupan keduanya menjadi keruh.
Rasulullah SAW mensyaratkan masuknya seorang istri ke dalam surga dengan
keridhoan suaminya. Diriwayatkan dari Ummu Salamah RA bersabda ; “Wanita
manapun yang meninggal dunia, sedang suaminya ridho kepadanya, niscaya ia akan
masuk surga”.
0 Komentar